Minggu, 01 November 2009
The S.I.G.I.T Diapresiasi di Amerika
SATU lagi musisi Kota Bandung unjuk gigi di negeri orang. The Super Insurgent Group of Intemperance Talent alias The S.I.G.I.T sukses mengentak di tiga negara bagian Amerika Serikat selama hampir dua minggu perjalanan mereka di sana, akhir Maret 2009 lalu. Mimpi Rektivianto Yoewono alias Rekti (vokal), Adit Bagja (bass), Donar Armando Ekana alias Acil (drum), dan Farri (gitar) akhirnya terwujud juga di SXSW (South by South West) Music Festival, Austin, Texas 2009, setelah urung tampil pada festival yang sama setahun lalu.
"Kalau ditanya dari sana dapat apa, jawabannya klise banget, yaitu dapat pengalaman. Tapi, perjalanan ke sana betul-betul ngebuka mata The S.I.G.I.T kalau Amerika bukan tempat yang ’wah’ dan di luar jangkauan kita," tutur Rekti mewakili teman-temannya yang ditemui seusai tampil di "Friends For Friend" di Bumi Sangkuriang,
Jln. Kiputih, Ciumbuleuit, Bandung, Kamis (30/4).
Tampil di Texas, San Fransisco, dan Los Angeles,
memberikan cerita tersendiri bagi para para personel The S.I.G.I.T. Karakter penonton yang berbeda di setiap negara bagian membuat The S.I.G.I.T kaget, tetapi tak mengurangi rasa excited mereka.
Lima kali naik panggung, mereka membawakan lagu-lagu dari album perdana "Visible Idea of Perfection" dan beberapa lagu baru yang akan termuat di minialbum mereka. Dengan durasi tampil sekitar 45 menit sampai
1 jam, The S.I.G.I.T cukup puas bisa memperkenalkan rock and roll racikan mereka.
"Kami kaget karena mereka enggak ngeh sama Indonesia. Mereka tahunya standar banget, Indonesia adalah Bali. Mereka juga kaget kalau musik Indonesia bisa semaju dan seberwarna sekarang karena yang ada di dalam kepala mereka, musik Indonesia adalah musik tradisional," kata Rekti.
Bahkan, Rekti dan kawan-kawan pernah mendapat pertanyaan, "Kalian dengar musik rock dari mana?" Mereka, menurut Rekti, enggak tahu kalau kemajuan internet sudah sampai ke Indonesia. Akan tetapi, musik rock dari The S.I.G.I.T bukan sesuatu yang baru di sana. Mereka menganggap musik rock yang The S.I.G.I.T tawarkan berbeda.
Keikutsertaan The S.I.G.I.T di SXSW Music Festival 2009 diakui Rekti belum memberikan dampak apa-apa buat band. "Kalau tawaran kontrak album atau diundang lagi main di Amerika belum ada. Memang di sana banyak promotor dan produser, tapi band sana saja susah dapat kontrak rekaman. Grup band yang bagus saja ada yang baru dapat kontrak rekaman setelah sepuluh tahun berkarier. Untuk menjadi fenomena musik di sana susah banget," ucap Rekti.
Hal ini tentu berbeda saat The S.I.G.I.T menuntaskan tur di Australia, Juni 2007 silam. Saat itu, setelah menjelajah 9 kota dan tampil di 16 panggung selama 1 bulan penuh, mereka langsung mendapat tawaran untuk merilis album "Visible Idea of Perfection".
"Dari sisi geografis saja, Australia lebih dekat dengan kita. Sementara Amerika itu jauh, wilayahnya juga luas banget. Apalagi sekarang resesi ekonomi global, hal ini ngaruh ke industri musik. Buat kami, bisa manggung dan ngenalin musik The S.I.G.I.T sudah bagus. Perlu modal banyak untuk mengembangkan karier di sana," kata Rekti yang diamini Acil.
Menurut Rekti, karena wilayah Amerika luas, susah menaklukkan semua negara bagian di sana. Misalnya, The S.I.G.I.T bisa terkenal dan disukai di San Fransisco, tetapi belum tentu terkenal dan disukai juga di Los Angeles.
Sambutan luar biasa didapat saat mereka manggung di San Fransisco karena sambutannya yang ramah. "Kami main di bar, saat pertama main sambutannya biasa saja. Tapi, setelah beberapa lagu mulai diapresiasi. Seusai main, yang punya bar mendatangi kami dan bertanya, kapan pulang ke Indonesia. Setelah itu, dia minta kami main lagi. Akhirnya jadi main tiga kali. Kalau publik LA agak jual mahal dan under estimate. Tapi, setelah kita main baru diapresiasi," tutur Rekti.
Sementara itu, saat main di SXSW suasananya lebih santai, semacam Dago Festival. Panggungnya ada di sepanjang jalan. Orang-orang lalu lalang, yang suka akan diam untuk nonton, yang enggak tertarik lewat saja. "Kebanyakan penonton di SXSW pada mabuk, jadi kurang diapresiasi saja. Tapi, tetap seru kok," ujar Rekti sambil tertawa.
Bahkan lima puluh keping cakram padat album pertama yang mereka bawa dan enam lusin kaus The S.I.G.I.T ludes terjual di sela-sela pertunjukan mereka. Sepulang dari sana, menurut Rekti, rasa percaya diri The S.I.G.I.T lebih keluar. Mereka mendorong teman-teman musisi Bandung lain agar mencoba manggung di sana karena main di sana bukan sesuatu yang mustahil dan pasti semua bisa.
"Hertz dyslexia"
Sepulang tur Amerika, masih ada pekerjaan rumah yang menanti untuk segera diselesaikan The S.I.G.I.T, yaitu merilis minialbum. Lama tak mengeluarkan album, setelah sukses dengan yang pertama pada 2006, membuat grup band ini akhirnya merilis minialbum terlebih dulu yang bertajuk "Hertz Dyslexia". Sebelum dilempar ke pasar, beberapa single seperti "Money Making" dan "Midnight Mosque Song" sudah bisa didengar di situs Myspace The S.I.G.I.T.
"Album ini bakal beda banget. Dibuat sebagai jembatan sebelum album kedua keluar, biar pendengar enggak kaget. Ini seperti mendengarkan album klasik, isinya hampir instrumental. Kalau berharap bisa sing along seperti pada lagu ’Soul Sister’ atau ’Clove Doper’, enggak akan ada di minialbum ini," tutur Rekti.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
:14 :15 :16 :17
:18 :19 :20 :21
:22 :23 :24 :25
:26 :27 :28 :29
:30 :31 :32 :33
:34 :35 :36 :37
:38 :39 :40 :41
:42 :43 :44 :45
Posting Komentar